Senin, 28 Januari 2013

Mahasiswa, Polisi, dan BBM

Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi memang tak jadi naik. Namun ditunda. Rencananya, kabar burung   yang berkicau  di luar sana, awal Juni ditafsirkan akan mengalami kenaikan. Kalau isu itu benar, saya khawatir mahasiswa dan polisi (aparat) akan  bertatap muka lagi. Sengit dan mendebarkan.

Kali ini, saya tidak akan banyak mengupas mengenai statistik penolakan BBM atau menerima. Terlebih, mau ikut mengobrak-ngabrik UU APBN terkait BBM. Tentu takutnya jauh mengambang.  Selain itu, saya bukan pakarnya juga.  Sedikit repot untuk menelusiri “hutan belantara” informasi yang ada di google. Mengkompilasi data yang ada. Takutnya Anda mumet. *Sok banget!*
Lanjut. Mungkin para hadirin belakangan ini sumpek dan sekaligus (ingin) mendukung beragam aksi yang digelar oleh seluruh elemen masyarakat, tak kalahnya para mahasiswa yang selalu berada di garda terdepan (frontier) menolak dengan sekuat tenaga.  Sampai titik darah terakhir. Keren!
Hampir berita di televisi menjelang H-3 sampai H-1 kenaikan harga BBM yang dicanangkan pada 1 April, begitu heboh disambut perang hura hara antara penegak hukum dan mahasiswa di berbagai daerah. Bakar ban dan foto SBY salah duanya. Penjarahan dan aksi anarkis, begitu eksis di tampilkan.
Bagimana dengan di Bali sendiri ? Meskipun tak seheboh di pulau Jawa ataupun Makassar sana, penolakan yang di gelar oleh beberapa komponen menunjukkan taringnya. Sesuai pengamatan yang saya liat dan sebagai  partisifan di dalamnya (akhirnya,ngaku juga!)  terlihat tertib, rapi,  damai dan santun. Sangat beretika!
Yel-yel tetap dikumandangkan, sekadar untuk meningkatkan rasa jengah dan membuat para aparat sedikit serius memantau aksi tersebut. Meskipun, persiapan mereka amat lengkap dan berbanding terbalik dengan pendemo.
Umpan balik media di Bali pun mencoba memancing, dengan judul headline di Koran. “Pendemo BBM kurang Dukungan”. Memang seperti itulah realitasnya. Masalah demo bukan hal prioritas atau jalan ditengah masyarakat Bali untuk mengedepankan pandangan yang dianggap menyimpang. Banyak cara dan media. Mulai dari berkesenian, pewayangan, dan  bondres (lawakan khas Bali).
Bahkan aksi yang belakangan digelar pun, sebagian besar disulut oleh orang luar Bali. Meskipun ada, 1-2 orang Bali asli juga militan. Pernah juga sekali waktu   ngobrol dengan wartawan TV  nasional. Kurang lebihnya seperti ini.
“Di Bali jarang ada berita menarik, mau liput orang kecelakaan cuma luka-luka atau korban meningal satu – dua orang. Sedangkan di Jawa, tiap hari ada, bahkan jumlahnya lebih banyak. Mau liput orang demo juga sama, nggak ada yang menarik.  Yang ikut sedikit, omongannya juga nggak berkualitas,” ungkapnya mengerutu.
Saya hanya nyegir  saja menanggapi. Wajarlah, soalnya Bali beda dengan wilayah lain. Konsep adat dan kelokalan Bali dengan  ajaran Hindu masih kuat mengikat.  Seperti “tat twam asih (kamu adalah dia, dia adalah kamu),”  “nyame braya (kebersamaan)”, “nawang lek (tahu malu),” masih kuat mengakar, meskipun para pakar pengkaji sosial budaya  seringkali menepis hal itu.
Sekali lagi, seheboh apapun kebijakan pemerintah, masyarakat Bali (asli) penyikapannya tak seheboh mereka yang acapkali menggelar perlawanan diluar sana. Mengedapankan cara-cara elegant dan beretika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cheering Line Smiley